Tuesday, March 11, 2008

Ketika materi menjadi sebuah kacamata

Biasanya, jika mata kita tidak bisa berfungsi secara normal untuk melihat maka kita akan menggunakan alat bantu yang namanya kacamata. Kacamata juga digunakan untuk melindungi mata dari sinar matahari dan juga debu dan kotoran, terutama di musim panas. Tapi dalam keseharian makna kacamata sering bergeser dari makna denotasi ke makna konotasi. Misalkan saat kita menjadi orang yang cuek, ga peduli kiri kanan, tebal muka atau muka tembok, maka kita akan disebut menggunakan kacamata kuda.

Dalam kehidupan nyata, dimana kita kenal dan berinteraksi dengan banyak orang, kita juga mengenakan mata. Namun mata yang ini tidak hanya sekedar mata yang biasa kita gunakan untuk melihat, namun kita juga perlu menggunakan mata lain yaitu mata hati atau mata batin. Mengapa? Karena jika kita hanya melihat seseorang hanya dari mata telanjang. Maka yang kita lihat hanya apa yang tampak, padahal seseorang itu jauh lebih kompleks dan lebih rumit dari sekedar apa yang terlihat oleh mata biasa kita.

Seseorang yang terlihat cuek, mungkin hatinya baik. Atau seseorang yang tampilannya necis bisa jadi pencopet di kereta atau bis. Di sinilah dituntut kepekaan mata batin kita dalam menilai dan untuk kemudian memahami seseorang.

Satu hal yang lebih buruk selain hanya melihat dengan mata telanjang, adalah melihat seseorang dengan kacamata yang frame nya materi. Kita hanya akan melihat ih dia ga cantik, ih dia ga kaya, ih dia bukan golongan dan kelas gue, ih dia bajunya murahan. ketika kita menggunakan materi sebagai frame, maka kita akan secepat kilat membuat black list jika seseorang tidak masuk dalam kategori ideal (katakan: cantik, kaya, pintar, putih, berkelas, dll). Lebih lanjut, kita akan membangun jarak dengan orang-orang di luar kategori ideal ini, dan pada akhirnya akan membangun dinding untuk tidak berhubungan dengan mereka.

Bagi saya sikap seperti ini jelas tidak hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mencerminkan aspek tauhidi dalam kehidupannya. Mengapa demikian? karena seseorang yang beriman kepada Allah, juga beriman kepada kitab2nya, berimana kepada taqdir yang baik dan yang buruk, disamping kepada malaikat, nabi dan rasul Allah dan juga hari kemudian. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Allah akan menyempitkan dan meluaskan rejekinya bagi siapa yang Dia kehendaki, Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Artinya, miskin bisa jadi bukan suatu cacad atau aib jika seseorang sudah berusaha maksimal untuk memenuhi kebutuhan hidup dna keluarganya secara maksimal. Akan dikatakan aib, jika seseorang malas atau tidak mau bekerja kemudian hanya menyandarkan hidupnya pada orang lain. BUkan suatu aib, jika seseorang hidupnya hanya masuk golongan menengah ke bawah. Dan bukan sesuatu yang aib jika seseorang terlahir tidak cantik, bukan suatu aib jika seseorang lahir dengan keterlambatan mental. Dalam Al Quran juga disebutkan bahwa apa yang kita miliki juga hanya titipan. Harta, anak, istri, semuanya hanya perhiasan dunia, yang suatu saat siap untuk diminta kembali oleh Yang Maha Hak. Bahkan tubuh yang kita bangga-banggakan kecantikan dan ketampanannya pun bukan milik kita, Allah berhak memintanya kembali kapan saja. Entah itu sebagian atau keseluruhan. Apa yang kita banggakan hidup di dunia ini? Dunia ini hanya sementara, kita diberi kesempatan di dunia ini, diberi kelengkapan dengan tubuh yang sempurna beserta akal dan pikiran untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi. Tugas khalifah, adalah mengelola bumi dan isinya (lingkungan) untuk kemudian saling berbagi kepada sesama, mewujudkan rahmatan lil alamin yang semuanya dalam rangka ibadah kepada Sang Maha Pemberi Hidup. Sebagai khalifah menurut hemat saya, dan apa yang saya baca dari buku-buku manusia diberi kebebasan. Namun kebebasan ini harus dapat dipertanggungjawabkan, dengan cara memberikan rambu-rambu mana yang harus dilalui dan mana yang harus dihindari. Diantaranya dengan tidak melakukan kerusakan di muka bumi ataupun berbuat curang, atau tidak mau berbagi kepada sesama. Contoh kecilnya, ibarat seorang ibu yang memberi uang jajan kepada anaknya, sang ibu tentunya ingin agar uang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Bukan dibelikan rokok, atau sesuatu yang memberikan keburukan untuk si anak.

Nah, jika kita menggunakan materi dalam melihat seseorang maka kita akan berjarak dengan orang-orang di luar frame ideal kita. Padahal mereka juga makhluk Allah dengan segala kekurangan yang harus kita hormati, kita sayangi, dan kita perlakukan dengan baik sebagai bagian dari konsep hablumminallah dan hablumminannas. Kata nass di sini tidak hanya orang Islam (muslim) namun juga manusia. Masih teringat saya akan riwayat yanng menceritakan kebiasaan Rasulullah yang senantiasa memberi makan seorang pengemis yahudi yang buta di dekat pasar madinah. Rasulullah melakukannya dengan kelembutan hatinya, dengan cara melumatkan makanan tersebut terlebih dahulu kemudian menyuapi si pengemis. Padahal si pengemmis buta tersebut senantiasa mencaci maki Rasulullah dan mengatakan bahwa Muhammad gila. Tapi Rasulullah tetap melakukan kebiasaannya itu, tanpa pernah mengatakan bahwa dirinya adalah Muhammad yang selalu di caci maki pengemis tersebut. Subhanallah, demikian mulianya perilaku Rasulullah. Membaca riwayat ini tidak hanya membuat saya berlinangan air mata, namun membuat saya merasa bahwa pribadi saya masih demikian jauh dibandingkan beliau. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan akhlak dan kepribadiannya yang demikian mulia. Saya, dan mungkin umat muslim lainnya menyatakan bahwa beliaulah tauladan , Sunnah beliau yang saya dan muslim lainnya ikuti. Namun perbuatan saya ternyata masih jauh dari sunnahnya.

Kalau kembali ke topik awal tentang kacamata materi. maka sudah menjadi lebih jelas, bahwa dengan kaca mata materi rasanya perilaku kita akan semakin jauh dari perilaku Rasulullah. Kita bukan orang yang sempurna, namun minimal kita berusaha untuk berbuat menuju kesempurnaan.

No comments: