Tuesday, March 27, 2007

Musibah dan Nikmat

Pengantar: Ini merupakan posting tertunda karena berbagai faktor, ya sibuk, ya capek, ya males, dll......berikut isinya. Selamat menikmati

Pagi tadi, selepas subuh saya mendengar acara kuliah subuh. Intinya adalah bagaimana kita memandang musibah itu sebagai sebuah kenikmatan. Menurut ustadz yang menjadi nara sumber, selama ini kita selalu mempersepsikan kenikmatan dengan sesuatu yang enak, menyenangkan seperti kesehatan, uang yang banyak, harta yang berlimpah istri yang cantik, anak yang lucu dll, dan kita tidak pernah berfikir ada apa dibalik kenikmatan yang kita rasakan. Dan setiap kali kita ditimpa oleh suatu musibah seperti sakit, kehilangan atau apapun kita seringkali berburuk sangka dengan semua itu. Padahal Allah adalah Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dia juga orang yang Maha Pemberi, Maha pembuka rezeki dan juga Al Rasyid (sebagaimana di Tabloid Jumat Republikahari ini). Dengan sifat Al Rasid-Nya Allah itu maha tepat perhitungan-Nya. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa perhitungan. Semua yang terjadi itu pasti selalu tepat. Nah inilah yang kemudian menjadi dasar mengapa setiap muslim hendaknya memandang setiap musibah yang terjadi itu sebagai suatu kenikmatan.Terkait dengan musibah, dalam surat Al baqarah ayat 155 - 157 :" Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ;"Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun", mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk" Terkait dengan musibah yang banyak terjadi akhir-akhir ini, tentunya tidak lantas menjadikan kita berburuk sangka kepada Allah. Namun saya memandang bahwa apa yang terjadi merupakan wujud rahmat dan kasih sayang Allah. Mungkin selama ini banyak hal yang kita lakukan sehingga mengakibatkan sesuatu yang tadinya seimbang menjadi tidak seimbang. Padahal sesuatu yang tidak seimbang sifatnya tidak akan lama dan akan kembali kepada kondisi keseiambangan kembali, bagaimanapun caranya. Baik dengan cara yang soft ataupun dengan cara yang frontal. Allah sendiri menyukai segala sesuatu yang seimbang. Keseimbangan ini dilihat dari diciptakannya langit dan bumi, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, daratan dan lautan semuanya seimbang.Salah satu contoh misalkan banjir atau longsor bisa jadi karena keseimbangan resapan air terganggu. Demikian juga dengan hal lainnya. Dalam contoh kecil, kalau misalkan kita sakit, pasti telah terjadi proses ketidakseimbangan antara asupan kalori dan energi yang dikeluarkan atau antara waktu kerja dengan waktu istirahat dan waktu ibadah.Lantas...yang jelas segala sesuatunya harus dilakukan secara seimbang, proporsional dan pada tempatnya. Seperti hukum ekonomi yang selalu menuju kepada kondisi keseimbangan, lainnya pun demikian. Segala sesuatu nantinya akan menuju kepada proses keseimbangan, karena Tuhan menjadikan segala ciptan Nya pun dalam keseimbangan.

Tentang sukuk

Selasa kemarin, ada diskusi terbatas mengenai sukuk di Ruang Rapat A Gedung Perbendaharaan IV, di lapangan Banteng. Diskusi ini dikatakan terbatas karena memang hanya dihadiri oleh orang-orang pilihan dari institusi syariah seperti bank, asuransi, reksadana dan juga beberapa organisasi seperti MES, IAEI dan termasuk juga Asbisindo. Beberapa pegawai di lingkungan departemen keuangan juga turut. Ada 2 pembicara dalam rapat terbatas ini, pertama adalah Dirjen Pembiayaan Negara, Bapak Dahlan Siamat, dan juga staff pegawai dari HSBC. Menurut Bapak Dahlan Siamat, saat ini draft undang-undang sukuk telah disampaikan kepada Komisi XI DPR, 13 Maret lalu, dan ada optimisme bahwa sukuk akan dapat diterbitkan di tahun ini. Setelah hampir setahun sukuk, keberadaan undang-undang sukuk menjadi pertanyaan banyak orang. SEmentara itu, dari pihak HSBC menjjelaskan bagaimana prospek sukuk dalam negeri dan internasional. Perkembangan sukuk sangat cepat, sebagai data dipaparkan bahwa pada tahun 2002, penerbitan sukuk hanya berjumlah US $ 5 milyar , dan pada tahun 2006, jumlah ini meningkat menjadi US$16 milyar bahkan pertumbuhannya mencapai pertahunnya. Bbrapa negara yang menjadi client dari HSBC dalam penerbitan sukuk antara lain Malaysia, Qatar, Bahrain, Pakistan, Jerman, Brunei dengan skim yang paling banyak digunakan adalah skim ijarah. Sukuk dengan struktur pembiayaan ijarah merupakan paling banyak dipakai, walau saat ini sukuk dengan skim musyarakah, ijarah, itishna, istihmar.
Beberapa hal yang menarik dari diskusi ini muncul setelah adanya tanya jawab antara peserta dengan pihak penyaji. Ada yang nyeletuk " PAk, gimana kalau pemerintah langsung menerbitkan sukuk tanpa menunggu UU disyahkan DPR, perbankan syariah tanpa UU juga bisa..... Ini langsung dikomentari oleh Pak Dahlan Siamat, dia bilang tidak bisa blabla bla. Pak Adiwarman Karim yang kebetulan hadir di sana bilang bahwa keberadaan sukuk berbeda dengan perbankan syariah. kalau di sukuk, jelas kepentingan negara yang diperjuangkan, sedangkan dalam perbankan syariah masih ada pasal-pasal yang menjadi kontroversial. Yah sudahlah..apapun kita berharap UU SUKUK akan segera keluar karena potensi sukuk sebagai sumber pembiayaan negara sangat besar. Saat ini penggemar sukuk tidak hanya berasal dari Timur Tengah namun juga Eropa dan Asia. Bahkan menurut data yang terkumpul, di atas 50% sukuk yang diterbitkan merupakan sukuk yang diterbotkan oleh Malaysia dalam mata uang ringgit, kemana Indonesia.
Tapi satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya adalah kenapa sukuk harus diganti dengan surat berharga syariah nasional? apakah bangsa ini pobhia dengan kata-kata berbau arab? Bukankah sukuk adalah kata yang sudah diakui internasional, simple dan lagian bukankan banyak bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa arab seperti ilmu, hayat, rejeki dll....atau mungkin bener kata temen saya, orang Indonesia kampungan......husssssshhhh :)

Saturday, March 24, 2007

Moneterisasi

Alhamdulillah, akhirnya saya bisa juga menuliskan satu dua kata di dalam blog tercinta ini. Hmm, moneterisasi ini adalah kata yang pernah diucapkan oleh seorang teman saya ketika dia sedang kesel-keselnya dengan seseorang yang selalu mengukur segala sesuatunya dari uang. Untuk berteman saja, lihat-lihat dulu apakah si teman akan membawa keuntungan apa tidak. Apalagi untuk diajak dalam suatu kegiatan yang sifatnya sosial ataupun dimintain tolong, jangan harap orang ini akan mau melakukannya kalau tidak ada iming-iming uang atau manfaat yang sifatnya dunia. Mungkin bagi mereka orang-orang yang suka melakukan praktik moneterisasi ini, melakukan sesuatu yang tidak dibayar atau tidak ada pamrihnya adalah sesuatu yang "wastinig time".
Siang ini, entah mengapa kalimat itu keluar lagi dari bibir saya, ketika seorang teman merasa bahwa seorang wanita itu hanya melihat pria dari kantongnya. Huah...tentu saja saya marah besar. Kontan saya bilang, tidak bisa digeneralisir gitu dong.......tiap orang beda. Tiap orang punya preferensi tertentu. Mungkin ada orang-orang yang memang segala sesuatunya dilihat dari kondisi financialnya,tapi tidak semua orang. Saya justru sangat tidak suka dengan sifat seperti itu meskipun saya wanita.....Tapi anehnya teman saya tadi malah marah, dan justru menganggap saya orang yang pesimis dalam memandang hidup. Betulkah? Hihihihi, saya tertawa di dalam hati...sambil berucap (kalau saya termasuk orang yang suka memoneterisasisegala sesuatu pasti ga nongkrong di PSTTI kali ya...hehheeh) Kalau dikatakan pesimis tidak juga. Saya selalu semangat dalam melakukan banyak hal, saya tetap bekerja, berusaha dan berdoa untuk yang terbaik. Saya tetap merencanakan masa depan saya dengan sebaik-baiknya. Dan saya sangat yakin bahwa dengan melakukan sesuatu dengan baik berarti kita akan profesional, dan ketika kita profesional, uang akan datang dengan sendirinya. Kondisi ini akan menjadi terbalik, manakala uang yang menjadikan motivasi bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Apalagi bagi seorang muslim. Karena bagi seorang muslim sudah sangat jelas, bahwa Allah akan menjadikannya sebagai seorang khalifah dibumi yang berkewajiban untuk memakmurkan bumi. Sehingga hukum bekerja dan berproduktifitas adalah kewajiban. Motivasinya tidak hanya materi namun juga sangat jangka panjang yang meliputi alam dunia dan akhirat yang diwujudkan dalam sebuah bentuk ibadah. Masalah hasil, biarlah Allah yang menentukan. Saya selalu percaya bahwa rejeki saya sudah ada, ga tertukar dan ga salah alamat....Itu pasti! Jadi., bagi saya ga perlu mengukur segala sesuatunya dari uang alias memoneterise segala sesuatu yang kita lakukan. Lagian dalam AL Quran Allah telah mengatakan bahwa "kalau kita berbuat baik, maka kebaikan itu untuk kita, dan jika kita melakukan kejahatan, maka kejahatan juga untuk kita". So,.......berbuat sesuatu dengan ikhlas dan tidak mengharapkan embel2 apa2 mungkin lebih wise ya.....

Monday, March 05, 2007

Kejujuran dalam berbisnis

Tadi pagi saya mendengar acara bincang pagi di sebuah radio swasta di jakarta. Kebetulan setiap selasa membahas masalah marketing yang nara sumbernya adalah Reza Syarif. Tadi pagi beliau memaparkan bagaimana menjadikan pelanggan tidak hanya sampai pada tataran loyal tapi juga pada tingkat fanatik. Salah satu contohnya adalah majalah sabili. Menurut beliau majalah ini memiliki sejumlah pelanggan yang tidak hanya loyal tapi fanatik. Dimana salah satu kuncinya adalah dengan melakukan edukasi. Tapi bagi saya bukan itu yang menarik. namun paparannya tentang top CEO dunia yang seluruhnya orang Amerika. Menurutnya mereka terpilih karena integritas yang dalam bahasa indonesianya kira-kira sama dengan kejujuran. Meskipun integritas lebih tinggi dari jujur, namun kejujuran tidak bisa diabaikan dalam berbisnis. Kejujuran juga sikap yang dicontohkan nabi ketika dia berkarir sebagai pedagang yang dipercayakan mengelola barang dagangan Khadijah. sehingga dengan kejujurannya ia pun dijuluki al amiin. Kembali kepada sikap jujur. Saya bahkan semua orang selalu berharap akan berkah dari Allah. Mendapat rahmatnya, limpahan rzkinya. Tapi kemudian saya berfikir "bagaimana berkah Allah, rahmat Allah dan limpahan karunia Nya akan turun kalau dalam tindakan kita banyak ketidakjujuran, banyak korupsi, kebohongan dan lainnya. Terlepas dari Allah Maha Pemberi Karunia dan Maha Pemberi Rahmat.....

Menabung dalam Islam

Hampir seminggu yang lalu saya dan rekan sesama pengajar berdebat mengenai menabung dalam Islam. Sebagian mengatakan bahwa menabung sebenarnya tidak dianjurkan dalam Islam, alasannya karena tabungan sejatinya umat muslim adalah tabungan di akhirat, sedangkan tabungan dunia tidak dianjurkan. Akibat adanya tabungan akhirat ini, maka pengeluaran konsumsi menjadi semakin besar. Kembali beliau merujuk kepada modelnya konsumsi Fahim Khan, yang memasukkan semua pengeluaran akhirat ( zakat, sedekah,infak dan wakaf dsj) kedalam konsumsi, dengan asumsi bahwa konsumsi total terdiri atas konsumsi dunia dan konsumsi akhirat. Sehingga dengan demikian pengeluaran untuk konsumsi menjadi besar dan akibatnya tabungan menjadi kecil bahkan mendekati 0.
Kalau saya, menabung itu perlu sebagaimana yang diajarkan oleh pengalaman nabi yusuf bahwa kita perlu menabung sebelum masa paceklik dalam kehidupan kita. Namun jawaban saya ini ditimpali oleh rekan lain yang mengatakan bahwa pelajaran dari nabi Yusuf adalah dalam konteks negara, kalau dalam konteks individu tidak wajib. Nah loh....bagaimana ini?
JIka tidak menabung so, bagaimana dengan masa depan kita? Bagaimana dengan anak kita, bukankah kita tidak sepatutnya meninggalkan generasi yang lemah. Nah, mungkin pendapat rekan saya yang pertama bisa dibenarkan artinya tidak wajib menabung, kalau sistem jaminan sosial di suatu negara begitu baiknya, semua fakir miskin dibantu negara, bahkan yang punya hutang sekalipun diberi santunan. Hingga pada masa pemerintahan Nabi, Abu Bakar dan sahabat berani menyumbangkan seluruh hartanya tanpa khawatir hari esok, karena baiknya sistem jaminan sosial yang adil dan distribusi yang merata. Namun saat ini saya hidup di Indonesia, dimana ketimpangan sosial demikian lebar, jangankan antar daerah. Di Jakarta saja, di daerah Cilincing, masih ada daerah yang merupakan kelurahan tertinggal, mana terkena banjir lagi. Bayangkan anak balita di sana, makan biskuit saja tidak pernnah, apalagi minum susu. Miris ya? sangat kontras dengan mobil-mobil mewah yang bersileweran di jalanan atau fenomena di mall mall yang selalu ramai atau gaya hidup orang jakarta lainnya. Dengan kondisi ini masihkah tidak harus menabung setidaknya untuk berjaga pada saat kita sakit atau tiba-tiba tidak mampu bekerja, bukankah seorang muslim itu sebaiknya tidak menengadahkan tangan untuk meminta belas kasihan orang lain? bukankah seorang muslim punya harga diri atau izzah untuk tidak meminta-minta? Kalau menurut Fahim Khan sediri, di negara yang muslimnya semakin taat, maka tingkat tabungannya justru akan semakin tinggi. Kenapa demikian? Karena menurut beliau perilaku seorang muslim dalam konsumsi itu tidak boleh boros dan berlebih-lebihan (lihat QS Al Israa 26) , sehingga tingkat konsumsi dunianya rendah dampaknya tabungan akan meningkat. Nah berarti tabungan boleh dong......
Saya bertanya kepada dosen ushul fiqih, pendapatnya beda lagi.Katanya menabung itu wajib, minimal untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan juga keluarga, menurut beliau yang tidak boleh adalah menimbun atau ikhtinas. Menabung dan menimbun adalah sesuatu yang beda. Yang dilarang itu menimbun. Dalil wajib menabung katanya dapat dpt dilihat dalam surat Annisa ayat 9, surat al hasyr ayat 18 dan surat albaqarah 34, yang intinya ketika kita punya pendapatan maka tidak semua dihabiskan untuk konsumsi (dunia dan akhirat) tetapi sebagian hendaknya ditahan, di tahan dalam hal ini adalah disimpan atau ditabung.
Saya sendiri, menurut hati kecil saya, menabung its ok, setidaknya berjaga-jaga kalau saya atau keluarga terdekat saya sakit atau untuk suatu keadaan darurat lainnya, sehingga tidak menyusahkan atau merepotkan orang lain. Bagaimana pendapat yang lain ya......?

Thursday, March 01, 2007

Paparan INCEIF

Jumat kemarin bertempat di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia seminar tentang perbankan syariah. Hadir sebagai pembicara tunggal adalah Prof Dr. Malik Muhammed Mahmud al Awan, chief academic officer and Dean of The Faculty, INCEIF. Ada beberapa hal yang sempat tercatat dalam benak saya. Pertama, meskipun share perbankan syariah masih kecil namun sistem ini mengalami pertumbuhan yang cepat. Sistem ini bisa diterima tidak hanya di negara-negara Asia, namun juga negara-negara Barat bahkan Amerika sekalipun. Disadari atau tidak sistem ini memang harus diakui kelebihannya seperti keterkaitannya dengan sektor riil, semangat keadilan dan konsep mashlahah. Sehingga sistem ini sangat layak dikembangkan. Kedua, Indonesia meskipun negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar namun share nya terkecil jika dibandingkan negara-negara lainnya seperti Malaysia, Bahrain, dan lain-lainnya. Satu lagi yang sempat saya ingat bahwa dewan syariah tidak saatnya lagi untuk mengatakan ini halal atau haram tapi harus dijelaskan dengan secara rasional mungkin kenapa ini halal dan kenapa itu haram. Disebutkan juga, bahwa perkembangan perbankan syariah tidak akan optimal tanpa keseriusan dan political wiil yang jelas dari pemerintah.