Monday, April 16, 2007

Depend On

Ketergantungan atau istilah kerennya depend on, pada awalnya mungkin adalah sesuatu yang manusiawi, sunatullah dan fitrah bagi kita sebagai manusia. Dengan berbagai kelemahan kita sebagai manusia kita tidak bisa untuk melakukan segala sesuatunya sendiri - All by my self -. Kita ga bisa menanam padi sendiri untuk kemudian panen sendiri, sehingga untuk beras kita tergantung pada petani, kilang padi, dan juga pedagang. Kita juga ga bisa menangkap ikan sendiri di laut untuk memenuhi kebutuhan kita akan protein sehingga kita juga membutuhkan nelayan. Begitulah dengan keterbatasan kita kita membutuhkan manusia lain. Namun membutuhkan orang lain mungkin akan beda konteksnya dengan bergantung kepada orang lain.

Mungkin akan sangat tipis perbedaan antara kita membutuhkan orang lain dengan bergantung kepada orang lain. Ketika kita bergantung kepada orang lain, kita ga bisa apa-apa ketika orang tempat kita bergantung ga ada. Ibaratkan saja kita bergantung di atas satu cabang pohon jambu, maka ketika cabang itu ditebang maka kita ga bisa lagi bergantung untuk berayun-ayun.

Dalam keseharian, disadari atau tidak mungkin kita telah terjangkiti dengan virus yang namanya tergantung ini. Seperti saya misalnya, ga bisa kerja tanpa musik.....wah bahaya atau seseorang yanng tidak bisa kerja kalau tidak minum kopi atau merokok. Sebagian kita mungkin butuh kopi karena seperti apa yang pernah saya baca, kopi dapat membantu kerja jantung, entah dari apanya saya lupa....mungkin kita juga butuh musik untuk menyeimbangkan otak kita, tapi kalau kita sudah bergantung pada musik atau kopi untuk beraktifitas tentunya bukanlan sesuatu yang baik. bagaimana pun bersikap berlebihan itu bukan sesuatu yang baik dalam segala hal. dan ketika telah ada rasa ketergantungan, maka terjadi kelebihan kebutuhan sehingga terjadilah yang namanya ketergantungan.

Pengalaman saya dalam menjalani suatu hubungan, sejujurnya saya pernah sangat tergantung kepada seseorang. Bagaimana akibatnya? ketika seseorang itu pergi dari kehidupan saya, saya pun harus menata ulang kehidupan sedikit jalan hidup yang porak poranda. Itu konteks individu, dalam konteks kehidupan bernegara pun ketergantungan berdampak tidak baik terutama dalam kemandirian suatu bangsa dalam mengambil suatu keputusan. Mungkin kasus indonesia, bisa jadi contoh :)

Hmmm, yah begitulah. Akhirnya saya pun memiliki suatu pandangan tentang ketergantungan ini, Ketika kita masih kanak-kanak dan belum dewasa kita memang dibenarkan untuk bergantung kepada kepada kedua orang tua kita, namun ketika kita telah dewasa, dan wajib pula bagi kita hukum syara' maka mestinya kita tidak bergantung kepada sesuatu atau sesiapa secara berlebihan, karena di dunia ini tidak abadi, dan satu-satunya yang abadi adalah kembali kepada Allah, sang pencipta. Bukankan dalam surat Al Ikhlas telah berkata Allah bahwa kepada Nyalah tempat bergantung segala sesuatu, bukan kepada sesuatu, dan bukan pula kepada seseorang.

Di sadari atau tidak, ketika kita bergantung kepada selain Allah, maka di situ Allah cemburu, kenapa kita bergantung kepada sesuatu yang Gaharu, kenapa kita bergantung kepada sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang tidak pasti? Pada saat inilah sebenarnya kita telah melanggar hak-hak Allah untuk kita cintai dan untuk tidak kita sekutukan dengan apapun. Allahu'alam.

Sebait pintaku ya Allah biarkanlah hanya diriMu tempat aku menggantungkan segala harapan, asa cita-cita, mimpi dan semuaNya, dan kubiarkan diriMu memilihkan apa-apa yang terbaik untukku, setelah aku berusaha untuk memilih yang terbaik untuk suatu keridhoan Mu

Thursday, April 12, 2007

Seberapa besar.............................

Minggu yang lalu, ketika saya berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman, saya mendapati banyak hal yang jadi bahan pemikiran. Pertama tentang kekesalan saya pada kedisiplinan yang tidak pada tempatnya. Hal ini terjadi ketika saya berada di atas damri yang akan membawa saya ke bandara. Saat itu damri telah penuh, namun mengapa ga berangkat juga, padahal beberapa penumpang memiliki waktu check in yang terbatas. Alasannya waktu keberangkatan damri telah ditetapkan setengah jam sekali. Walah.....kok untuk ginian disiplin sih. Padahal kalau damri sudah penuh, penumpang juga ga bakalan naik terus untuk apalagi nunggu? Hal lainnya adalah pemadaman listrik secara bergilir di kampung halaman saya. Alasannya untuk penghematan dan efisiensi. Hmm kasus yang sama pernah saya hadapi waktu setahun se tengah yang lalu saat saya berada di Makassar. Apakah pernah diperhitungkan berapa kerugian ekonomi yang bakal dialami jika listrik ga nyala. Apakah kerugian itu sama besarnya dengan penghematan yang dilakukan? atau justru lebih besar? Hmmm lantas kalau belum ada penelitian ini mengapa pemerintah melakukan hal ini. Satu hal yang jelas ada di benak saya adalah bahwa hak publik di negara ini sangat tidak diperhatikan. Dari mulai transportasi (darat, laut dan udara), komunikasi, bahkan juga hak hidup mungkin.

Yang saya pahami setelah membaca artikel tentang ekonomi islam, bahwa fungsi negara adalah ntuk menegakkan syariah (ingat 5 maqashid syariah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Sehingga karena negara bertujuan untuk menegakkan syariah maka segala kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat untuk dapat mewujudkan syariah pun harus difasilitasi. Dari sinilah timbul yang namanya sistem jaminan sosial dalam Islam, dimana negara memberikan fasilitas kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bahkan biaya nikah). Karena ketika kebutuhan2 ini tidak terpenuhi, maka masyarakat tidak dapat terpenuhi, dampaknya masyarakat tidak dapat beribadah dengan tenang, dan syariah pun tidak terwujud.

Di Indonesia, kebutuhan untuk pangan saja sangat susah. Sangking susahnya (harga beras mahal;red) beberapa bagian masyarakat terpaksa makan nasi aking. Kebutuhan beras semakin besar kenapa? Penduduk bertambah, konversi lahan meningkat, dan tidak ada keanekaragaman pangan, karena masyarakat papua yang biasa makan umbi-umbian pun telah dicekoki dengan beras. Dengan lahan yang semakin terbatas dan juga teknologi pertanian yang jalan di tempat sehingga hasil panen segitu-gitu saja, belum lagi karena kondisi lain yang tidak diperhitungkan so, pemerintah pun melakukan impor beras. Namun impor beras pun bukan menjadi jawaban karena toh harga beras masih mahal.

Pangan saja mahal, apalagi sandang apalagi pendidikan. TK aja biayanya selangit, belum lagi kalau sakit. Sampai muncul jargon "orang miskin dilarang sakit". Boro-boro pemerintah menanggung biaya menikah seperti yang dilakukan pada masa jaman pemerintahan Khalifah Umar in Abd Aziz. Sehingga kalau kita lihat banyak orang yang hidup bersama sekian tahun karena ga sanggup menikah, itu dosa siapa? Bagaimana peran pemerintah? Terus bagaimana tanggung jawab kita sebagai makhluk sosial ? Ah rasanya pusing memikirkan ini semua. yang jelas bagi saya saat ini hanya satu: Pemerintah tidak pro rakyat dan artinya juga tidak pro syariah. So?

Banyak hal yang bisa kita lakukan, kita punya wakaf, kita punya zakat, namun seberapa besar itu sudah dialokasikan ntuk masyarakat miskin? seberapa efektif dana-dana CSR telah dikelola untuk kepentingan masyarakat? Dan kita juga perlu bertanya kepada diri sendiri, seberapa peduli kita kepada masyarakat tidak beruntung d sekeliling kita dan seberapa siap kita berbagi kepada mereka ...........................................