Thursday, April 12, 2007

Seberapa besar.............................

Minggu yang lalu, ketika saya berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman, saya mendapati banyak hal yang jadi bahan pemikiran. Pertama tentang kekesalan saya pada kedisiplinan yang tidak pada tempatnya. Hal ini terjadi ketika saya berada di atas damri yang akan membawa saya ke bandara. Saat itu damri telah penuh, namun mengapa ga berangkat juga, padahal beberapa penumpang memiliki waktu check in yang terbatas. Alasannya waktu keberangkatan damri telah ditetapkan setengah jam sekali. Walah.....kok untuk ginian disiplin sih. Padahal kalau damri sudah penuh, penumpang juga ga bakalan naik terus untuk apalagi nunggu? Hal lainnya adalah pemadaman listrik secara bergilir di kampung halaman saya. Alasannya untuk penghematan dan efisiensi. Hmm kasus yang sama pernah saya hadapi waktu setahun se tengah yang lalu saat saya berada di Makassar. Apakah pernah diperhitungkan berapa kerugian ekonomi yang bakal dialami jika listrik ga nyala. Apakah kerugian itu sama besarnya dengan penghematan yang dilakukan? atau justru lebih besar? Hmmm lantas kalau belum ada penelitian ini mengapa pemerintah melakukan hal ini. Satu hal yang jelas ada di benak saya adalah bahwa hak publik di negara ini sangat tidak diperhatikan. Dari mulai transportasi (darat, laut dan udara), komunikasi, bahkan juga hak hidup mungkin.

Yang saya pahami setelah membaca artikel tentang ekonomi islam, bahwa fungsi negara adalah ntuk menegakkan syariah (ingat 5 maqashid syariah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Sehingga karena negara bertujuan untuk menegakkan syariah maka segala kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat untuk dapat mewujudkan syariah pun harus difasilitasi. Dari sinilah timbul yang namanya sistem jaminan sosial dalam Islam, dimana negara memberikan fasilitas kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bahkan biaya nikah). Karena ketika kebutuhan2 ini tidak terpenuhi, maka masyarakat tidak dapat terpenuhi, dampaknya masyarakat tidak dapat beribadah dengan tenang, dan syariah pun tidak terwujud.

Di Indonesia, kebutuhan untuk pangan saja sangat susah. Sangking susahnya (harga beras mahal;red) beberapa bagian masyarakat terpaksa makan nasi aking. Kebutuhan beras semakin besar kenapa? Penduduk bertambah, konversi lahan meningkat, dan tidak ada keanekaragaman pangan, karena masyarakat papua yang biasa makan umbi-umbian pun telah dicekoki dengan beras. Dengan lahan yang semakin terbatas dan juga teknologi pertanian yang jalan di tempat sehingga hasil panen segitu-gitu saja, belum lagi karena kondisi lain yang tidak diperhitungkan so, pemerintah pun melakukan impor beras. Namun impor beras pun bukan menjadi jawaban karena toh harga beras masih mahal.

Pangan saja mahal, apalagi sandang apalagi pendidikan. TK aja biayanya selangit, belum lagi kalau sakit. Sampai muncul jargon "orang miskin dilarang sakit". Boro-boro pemerintah menanggung biaya menikah seperti yang dilakukan pada masa jaman pemerintahan Khalifah Umar in Abd Aziz. Sehingga kalau kita lihat banyak orang yang hidup bersama sekian tahun karena ga sanggup menikah, itu dosa siapa? Bagaimana peran pemerintah? Terus bagaimana tanggung jawab kita sebagai makhluk sosial ? Ah rasanya pusing memikirkan ini semua. yang jelas bagi saya saat ini hanya satu: Pemerintah tidak pro rakyat dan artinya juga tidak pro syariah. So?

Banyak hal yang bisa kita lakukan, kita punya wakaf, kita punya zakat, namun seberapa besar itu sudah dialokasikan ntuk masyarakat miskin? seberapa efektif dana-dana CSR telah dikelola untuk kepentingan masyarakat? Dan kita juga perlu bertanya kepada diri sendiri, seberapa peduli kita kepada masyarakat tidak beruntung d sekeliling kita dan seberapa siap kita berbagi kepada mereka ...........................................

No comments: